Mengapa Dalam Rumah Tangga, Istri Sering Harus Mengalah?

Oleh: Lisa Kustina

Pelaku kesalahan kerap diposisikan sebagai korban, sementara korban justru dibebani tanggung jawab atas peristiwa yang tidak ia lakukan. Fenomena ini paling sering terlihat dalam pembicaraan publik tentang rumah tangga, terutama ketika konflik melibatkan suami dan istri. Alih-alih membedah persoalan secara adil dan berimbang, narasi dibangun bukan untuk memahami, melainkan untuk menghakimi. Dan dalam banyak kasus, pihak yang paling mudah dijadikan sasaran adalah istri.

Ketika seorang istri cantik dan mencintai dirinya sendiri, suami yang berselingkuh ataupun menyukai Wanita lain kerap tetap tidak diposisikan sebagai pihak yang bersalah. Sebaliknya, muncul anggapan bahwa perselingkuhan atau mungkin hilangnya rasa suka ke istri terjadi karena istri kurang mengurus suami. Namun ketika istri tidak sempat merawat diri karena sibuk mengurus anak dan rumah, tudingan tidak berhenti. Kali ini ia disalahkan karena dianggap sudah tidak menarik lagi. Dalam dua kondisi yang saling bertolak belakang, kesimpulan yang lahir tetap sama: kesalahan diarahkan pada istri.

Narasi serupa berlanjut pada isu kemandirian ekonomi. Istri yang pintar mencari uang dan mandiri kerap dituduh menjadi penyebab berpalingnya suami karena dianggap terlalu maskulin dan membuat suami merasa terancam. Namun ketika istri bergantung sepenuhnya pada suami, ia kembali dipersalahkan karena dianggap tidak bisa diandalkan. Apa pun posisinya, istri selalu ditempatkan di ruang yang salah. Standar penilaian berubah-ubah, tetapi arah tudingan tetap konsisten.

Ironisnya, bahkan kebaikan pun dapat menjadi jebakan. Istri yang terlalu baik sering diingatkan agar tidak terlalu lembut karena dikhawatirkan membuat suami “ngelunjak”. Sebaliknya, istri yang tegas dan melawan disebut jahat, dan suami dianggap salah memilih pasangan. Dalam logika seperti ini, tidak ada sikap yang benar sepenuhnya.

Diam salah, bersuara pun salah.

Tekanan itu semakin terasa dalam urusan sehari-hari. Istri yang menurut diberikan cap tidak punya pendirian, sementara istri yang melawan disebut durhaka. Ketika penghasilan suami tidak mencukupi, istri dituduh boros. Namun saat istri berhemat, ia justru diberikan cap pelit. Istri hampir selalu diminta untuk mengalah dan bersabar, seolah menjaga keharmonisan hanya menjadi tugas satu pihak.

Dalam perspektif Islam, relasi rumah tangga dibangun di atas prinsip sakinah, mawaddah, dan Rahmah yaitu ketenangan, cinta, dan kasih sayang. Prinsip ini menuntut keadilan dan tanggung jawab personal. Al-Qur’an menegaskan bahwa seseorang tidak memikul dosa orang lain. Kesalahan tidak dapat dipindahkan kepada pasangan dengan alasan apa pun. Perselingkuhan, kelalaian, dan ketidakadilan tetap merupakan tanggung jawab individu yang melakukannya. Allah berfirman dalam Al-An’am · Ayat 164

قُلْ اَغَيْرَ اللّٰهِ اَبْغِيْ رَبًّا وَّهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍۗ وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ اِلَّا عَلَيْهَاۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۚ ثُمَّ اِلٰى رَبِّكُمْ مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ ۝١٦٤

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Apakah aku (pantas) mencari tuhan selain Allah, padahal Dialah Tuhan bagi segala sesuatu. Setiap orang yang berbuat dosa, dirinya sendirilah yang akan bertanggung jawab. Seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain. Kemudian, kepada Tuhanmulah kamu kembali, lalu Dia akan memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan.”

Rasulullah SAW menegaskan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Kebaikan dalam rumah tangga tidak diukur dari siapa yang paling sering mengalah, melainkan dari siapa yang paling bertanggung jawab, paling adil, dan paling menjaga amanah. Kesabaran tidak pernah dimaksudkan untuk melegitimasi kezaliman, dan cinta tidak seharusnya dijadikan alasan untuk membenarkan kesalahan. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik pada keluarganya. Aku sendiri adalah orang yang paling baik pada keluargaku.” (HR. Tirmidzi, no. 3895. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Sudah saatnya berhenti menormalisasi narasi yang selalu mencari kesalahan di satu pihak. Rumah tangga bukan panggung penghakiman, melainkan ruang aman yang semestinya dijaga dengan empati, keadilan, dan akal sehat. Selama pelaku terus diberi alasan dan korban terus dipaksa memahami, ketidakadilan akan terus diwariskan sebagai sesuatu yang dianggap wajar.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top