
Oleh: Lisa Kustina
Tidak semua luka dalam rumah tangga meninggalkan bekas yang terlihat. Ada luka yang tidak memar dan tidak berdarah, tetapi perlahan menggerogoti kepercayaan diri, kewarasan dan rasa aman seseorang. Luka itu kerap dialami perempuan yang hidup bersama pasangan dengan pola perilaku manipulatif, haus validasi dan selalu merasa benar tanpa pernah mau mengakui kesalahan.
Di luar rumah, sosok ini sering tampil menawan. Pandai bicara, percaya diri, tampak bertanggung jawab, bahkan dipuji sebagai suami ideal. Namun di dalam rumah, relasi berjalan timpang. Segala sesuatu berpusat pada dirinya. Kebutuhan emosinya harus diutamakan, sementara kebutuhan pasangan dianggap berlebihan, sensitif, atau malah tidak penting. Istri tidak diposisikan sebagai rekan setara, melainkan sebagai pelengkap citra.
Dalam relasi seperti ini, konflik jarang untuk diselesaikan. Setiap perbedaan pendapat berubah menjadi ajang pembuktian siapa yang paling benar. Ketika terjadi masalah, arah pembicaraan dengan cepat berbelok. Fakta dipelintir, konteks diubah, dan pada akhirnya istri dibuat ragu pada ingatannya sendiri.
Si Istri mulai bertanya-tanya: apakah ia memang terlalu emosional, terlalu menuntut, atau terlalu banyak berharap?
Pelan-pelan, rasa percaya diri terkikis. Istri belajar menimbang setiap kata, mengatur nada bicara, bahkan menekan perasaan sendiri demi menghindari konflik. Bukan karena masalah selesai, melainkan karena lelah.
Diam menjadi strategi bertahan, bukan tanda damai. Ia mengalah bukan karena salah, tetapi karena tidak ingin disalahkan lagi.
Ironisnya, ketika istri mulai kelelahan secara emosional, respons yang diterima justru tudingan. Ia dianggap berubah, tidak suportif, tidak menghargai, atau tidak bersyukur.
Kesedihan yang dirasakan dilabeli drama. Tangisan disebut manipulasi. Sementara kemarahan pasangannya dimaklumi sebagai bentuk ketegasan atau karakter kuat.
Relasi seperti ini sering membuat istri terisolasi.
Cerita kepada keluarga atau teman pun terasa sulit. Pasangan yang pandai menjaga citra membuatnya khawatir tidak dipercaya. Bahkan ketika berani berbagi, tak jarang justru ia yang diminta untuk lebih sabar, lebih memahami, dan lebih menyesuaikan diri. Seolah-olah ketahanan mental perempuan adalah solusi dari segala bentuk ketimpangan.
Yang lebih menyakitkan, perempuan dalam posisi ini kerap disalahkan atas kegagalan rumah tangganya sendiri.
Jika ia bertahan, ia dianggap bodoh.
Jika ia mengeluh, ia disebut tidak bersyukur.
Jika ia pergi, ia dicap egois.
Tidak ada pilihan yang benar di mata publik, karena masalahnya tidak pernah benar-benar dipahami.
Padahal, relasi yang sehat tidak menuntut satu pihak untuk terus mengecilkan diri agar yang lain bisa merasa besar. Pernikahan bukan panggung pertunjukan di mana satu orang selalu menjadi pusat perhatian, sementara yang lain hanya bertugas bertepuk tangan. Dalam hubungan yang setara, empati berjalan dua arah, kritik diterima sebagai refleksi, dan kesalahan diakui tanpa harus menjatuhkan.
Dalam perspektif nilai, termasuk nilai-nilai agama, rumah tangga dibangun atas dasar amanah dan keadilan. Cinta tidak diukur dari seberapa kuat seseorang bertahan dalam penderitaan, melainkan dari seberapa besar rasa aman yang diciptakan. Kesabaran bukan berarti meniadakan batas, dan pengorbanan tidak pernah dimaksudkan untuk membenarkan perlakuan yang melukai.
Rasulullah SAW menegaskan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Kebaikan itu tercermin dalam sikap mendengar, menghargai, dan bertanggung jawab bukan dalam kebutuhan untuk selalu dipuji atau dibenarkan. Ketika sebuah relasi menuntut satu pihak untuk terus mengalah, sementara pihak lain tak pernah berubah, ada yang keliru dalam keseimbangannya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik pada keluarganya. Aku sendiri adalah orang yang paling baik pada keluargaku.” (HR. Tirmidzi, no. 3895. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Sudah saatnya kita lebih peka membaca luka yang tidak kasatmata. Tidak semua rumah tangga yang tampak utuh benar-benar sehat. Tidak semua perempuan yang diam berarti bahagia. Di balik senyum yang terjaga, bisa jadi ada perjuangan panjang untuk mempertahankan kewarasan di tengah relasi yang melelahkan.
Menyadari pola yang tidak sehat bukan berarti membenci pasangan, apalagi merusak institusi keluarga. Justru sebaliknya, kesadaran adalah langkah awal untuk memulihkan martabat, menghadirkan keadilan, dan mencegah luka yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena rumah semestinya menjadi tempat pulang yang aman, bukan panggung di mana satu orang bersinar dan yang lain perlahan menghilang.

