Ketika Poligami Menjadi Alat, Bukan Amanah

Oleh: Lisa Kustina

Dalam beberapa waktu terakhir, perbincangan tentang poligami kembali mengemuka di ruang publik. Sebuah kasus yang viral memperlihatkan bahwa poligami tidak lagi dipersoalkan semata dari sisi hukum agama, tetapi juga dari segi etika, keadilan, dan relasi dalam keluarga. Beragam reaksi masyarakat menunjukkan bahwa isu ini bukan hanya urusan privat, melainkan persoalan sosial yang menyentuh rasa keadilan banyak orang.

Poligami dalam Islam sebagai sesuatu yang dibolehkan. Namun, kebolehan ini kerap dipersempit menjadi pembenaran sepihak, tanpa mempertimbangkan konteks, syarat, dan tujuan moral yang menyertainya. Akibatnya, poligami lebih sering dipandang sebagai hak yang bisa diklaim kapan saja, alih-alih sebagai amanah besar yang menuntut tanggung jawab dan kedewasaan.

Motif di balik poligami pun jarang dibicarakan secara terbuka. Di ruang publik, alasan yang muncul hampir selalu normatif: mengikuti sunnah, menghindari zina, atau alasan sosial tertentu. Padahal, di balik narasi tersebut, tidak jarang tersimpan kepentingan personal yang lebih rumit, keinginan mempertahankan kendali, menghindari tanggung jawab emosional, atau mencari pembenaran atas relasi yang sudah timpang sejak awal.

Dalam situasi seperti ini, perempuan kerap berada di posisi yang sulit. Ketika poligami diajukan, penolakan sering dianggap sebagai tanda kurang iman atau ketidaktaatan. Keberatan emosional direduksi sebagai kecemburuan semata. Agama pun berisiko dipakai bukan sebagai sumber keadilan, melainkan sebagai alat untuk membungkam suara yang berbeda. Relasi yang seharusnya dibangun melalui musyawarah berubah menjadi keputusan sepihak.

Padahal, Al-Qur’an dengan jelas menempatkan keadilan sebagai syarat utama.

“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja” (QS. An-Nisa: 3).

Ayat ini kerap dikutip untuk membenarkan poligami, tetapi bagian tentang kekhawatiran tidak mampu berlaku adil justru sering diabaikan. Keadilan yang dimaksud tidak hanya soal materi, melainkan juga menyangkut kehadiran, rasa aman, dan penghargaan terhadap martabat pasangan.

Ironisnya, dalam banyak kasus, poligami justru muncul ketika relasi suami-istri sedang rapuh. Komunikasi tidak berjalan, empati menipis, dan tanggung jawab emosional terabaikan. Alih-alih memperbaiki hubungan, poligami dijadikan jalan pintas. Luka yang ada tidak disembuhkan, tetapi justru bertambah, dengan dampak yang dirasakan pula oleh anak-anak.

Rasulullah SAW telah memberikan ukuran yang jelas tentang kebaikan seorang laki-laki. “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya” (HR. Tirmidzi).

Hadis ini mengingatkan bahwa kualitas keimanan tidak diukur dari klaim moral di ruang publik, melainkan dari sikap sehari-hari di dalam rumah: bagaimana seseorang hadir, mendengar, dan bertanggung jawab.

———————————————–

Fenomena poligami yang viral saat ini seharusnya menjadikan refleksi bersama. Pertanyaan pentingnya bukan hanya “boleh atau tidak”. Tetapi ketika poligami dijalankan tanpa keadilan dan tanpa kesiapan semua pihak, yang muncul bukan ketenteraman, melainkan kerentanan baru terutama bagi perempuan dan anak.

Sayangnya, budaya kita masih kerap menormalisasi penderitaan emosional selama tidak tampak secara fisik. Perempuan diminta lebih sabar dan lebih mengalah, sementara kesabaran tidak pernah dimaksudkan untuk membenarkan ketidakadilan.

Kesalehan sejati tidak diukur dari keberanian berpoligami, melainkan dari kemampuan menjaga keadilan, rasa aman, dan kasih sayang bagi mereka yang paling dekat. Tanpa itu semua, poligami berisiko menjadi simbol kegagalan relasi, bukan cermin ketaatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top