
Oleh: Lisa Kustina
Di ruang publik, kesalehan sering dimaknai sebagai tanda kemuliaan akhlak. Rajin beribadah, fasih mengutip ayat dan hadis, serta tegas berbicara tentang hukum agama kerap dianggap cukup untuk menjamin kebaikan seseorang, termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Namun, realitas sosial menunjukkan bahwa kesalehan yang tampak di luar tidak selalu berbanding lurus dengan keadilan dan kasih sayang di ruang privat yaitu rumah.
Tidak sedikit perempuan yang hidup bersama pasangan yang terlihat religius, disiplin menjalankan ibadah, dan lantang berbicara tentang hak dan kewajiban dalam Islam. Akan tetapi, dalam relasi sehari-hari, agama justru digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Setiap perbedaan pandangan dianggap pembangkangan. Setiap keberatan dibingkai sebagai dosa. Penderitaan emosional istri sering direduksi sebagai kurang iman atau kurang taat.
Dalam situasi seperti ini, agama tidak hadir sebagai sumber ketenangan, melainkan sebagai alat kontrol dan pembungkaman. Pola yang sering muncul adalah komunikasi satu arah. Suami menempatkan diri sebagai pihak yang paling benar, paling paham agama, dan merasa berhak menentukan seluruh arah kehidupan keluarga tanpa ruang dialog. Ketika istri menyampaikan kelelahan atau ketidaknyamanan, respons yang muncul bukan empati, melainkan ceramah, ancaman spiritual, atau penghakiman moral. Kesalahan selalu diarahkan ke satu pihak, sementara pihak lain memposisikan diri sebagai yang paling sabar dan paling berkorban.
Padahal, Al-Qur’an menegaskan bahwa relasi suami-istri dibangun atas prinsip ketenangan dan kasih sayang.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang” (QS. Ar-Rum: 21).
Ayat ini menempatkan pernikahan sebagai ruang aman, bukan arena dominasi.
Ironisnya, dalam praktik, narasi pengorbanan dan kesabaran justru dipakai untuk menutupi absennya tanggung jawab emosional. kehadiran, rasa aman, dan penghargaan diabaikan. Bahkan, keputusan besar seperti poligami kerap dipaksakan atas nama syariat, tanpa mempertimbangkan kesiapan psikologis istri maupun dampaknya terhadap anak.
Padahal, Rasulullah SAW mengingatkan bahwa ukuran kebaikan seorang laki-laki tercermin dari sikapnya di dalam rumah.
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang paling baik kepada keluargaku” (HR. Tirmidzi).
Kesalehan, dengan demikian, tidak berhenti pada ibadah ritual, tetapi harus tercermin dalam akhlak, empati, dan tanggung jawab relasional.
Sayangnya, budaya kita masih sering membenarkan kekerasan psikologis selama tidak meninggalkan bekas fisik. Ketika seorang istri tertekan secara mental, yang dipertanyakan justru tingkat kesabarannya, bukan pola relasi yang ia alami. Ia diminta lebih ikhlas, lebih tunduk, dan lebih banyak berdoa, seolah-olah penderitaannya semata-mata akibat kelemahan spiritual.
Di sinilah pentingnya membedakan antara ketaatan kepada Tuhan dan ketundukan kepada manusia. Al-Qur’an dengan tegas melarang segala bentuk kezaliman:
“Dan janganlah kamu berbuat zalim. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim” (QS. Al-Baqarah: 190).
Agama tidak pernah melegitimasi relasi yang melukai, merendahkan, atau menghilangkan martabat manusia, terlebih terhadap pasangan sendiri.
Sudah saatnya kita membuka ruang diskusi yang lebih jujur tentang relasi kuasa dalam rumah tangga, terutama ketika agama digunakan sebagai tameng perilaku manipulatif. Kesalehan sejati tidak diukur dari seberapa fasih seseorang mengutip dalil, melainkan dari kemampuannya menghadirkan rasa aman, adil, dan kasih sayang bagi orang-orang terdekatnya.

