
Oleh: Lisa Kustina
Menjadi perempuan sering kali terasa seperti berjalan di lorong sempit tanpa pintu keluar. Apa pun pilihan yang diambil, selalu ada penilaian, kritik, bahkan penghakiman. Ketika seorang perempuan memilih menjadi ibu rumah tangga, ia kerap dicap tidak berprestasi, tidak mandiri, atau sekadar “di rumah saja”. Namun, saat ia mengejar pendidikan, karier, atau prestasi di luar rumah, ia dituduh mengorbankan keluarga dan melupakan kodratnya.
Tidak berhenti di situ. Perempuan yang mencoba bekerja sampingan demi membantu ekonomi keluarga sering kali justru dicurigai. Ada yang dianggap tidak bersyukur, ada pula yang dicap terlalu ambisius. Ironisnya, standar ini jarang diterapkan dengan ukuran yang sama kepada laki-laki. Beban ekspektasi itu seolah melekat secara sepihak pada perempuan, apa pun peran yang ia jalani.
Dalam realitas sehari-hari, kerja domestik yang dijalani ibu rumah tangga sering kali dianggap “tidak bekerja”. Padahal, merawat anak, mengelola rumah, menjaga kestabilan emosi keluarga, hingga memastikan kebutuhan harian terpenuhi adalah kerja tanpa jam pulang, tanpa cuti, dan tanpa pengakuan formal. Ketika pekerjaan ini berjalan baik, ia dianggap wajar. Namun ketika ada yang terlewat, perempuan kerap menjadi pihak pertama yang disalahkan.
Sebaliknya, perempuan yang bekerja di luar rumah pun tidak sepenuhnya bebas dari tekanan. Keberhasilannya sering dirayakan dengan syarat: selama rumah tangga tetap sempurna. Sedikit saja ada masalah pada anak atau keluarga, kariernya menjadi sasaran. Seolah-olah keberhasilan di satu ruang harus dibayar dengan kegagalan di ruang lain. Perempuan dihadapkan pada tuntutan untuk selalu seimbang, sementara sistem sosial jarang memberi ruang atau dukungan yang memadai.
Kondisi ini membuat banyak perempuan hidup dalam rasa bersalah yang berkepanjangan. Rasa bersalah karena merasa kurang hadir di rumah, sekaligus rasa bersalah karena merasa belum cukup berkembang sebagai individu. Pilihan hidup yang seharusnya personal berubah menjadi medan penilaian moral.
Dalam situasi seperti ini, penting untuk kembali bertanya: dari mana standar itu berasal? Dan apakah standar tersebut adil?
Islam, sebagai agama yang dijadikan rujukan dalam membicarakan peran perempuan, sejatinya tidak meletakkan perempuan dalam jebakan serba salah seperti itu. Al-Qur’an menegaskan bahwa kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh jenis kelamin atau peran sosial, melainkan oleh ketakwaan.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣
Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti. (QS. Al-Hujurat: 13)
Dalam sejarah Islam, kita mengenal figur-figur perempuan dengan peran yang beragam. Khadijah binti Khuwailid adalah saudagar yang mandiri secara ekonomi. Aisyah binti Abu Bakar dikenal sebagai rujukan ilmu dan periwayat hadis. Pada saat yang sama, Islam juga memuliakan peran perempuan dalam mengasuh dan mendidik generasi. Tidak ada dikotomi antara berprestasi dan berkeluarga, selama dijalani dengan tanggung jawab dan keadilan.
Rasulullah SAW pun menegaskan penghormatan terhadap perempuan, khususnya dalam peran domestik. Ketika ditanya tentang siapa yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik, beliau menjawab, “Ibumu,” hingga tiga kali (HR. Bukhari dan Muslim). Penghormatan ini menunjukkan bahwa kerja merawat, mengasuh, dan membesarkan manusia tidak pernah dipandang remeh.
Islam tidak menuntut perempuan untuk memenuhi semua peran sekaligus tanpa bantuan dan tanpa batas. Yang ditekankan adalah musyawarah, keadilan, dan saling menghargai dalam keluarga. Ketika beban diletakkan sepihak pada perempuan, lalu kegagalannya dijadikan bahan celaan, di situlah nilai keadilan justru menjauh dari semangat ajaran agama.
Sudah saatnya kita berhenti menilai perempuan dari satu ukuran sempit. Menjadi ibu rumah tangga bukan berarti tidak berprestasi. Mengejar pendidikan dan karier bukan berarti mengabaikan keluarga. Bekerja sampingan bukan tanda ketidaksyukuran, melainkan sering kali bentuk tanggung jawab.
Islam memandang perempuan sebagai manusia utuh dengan akal, kehendak, dan martabat. Pilihan hidupnya seharusnya dihormati, bukan dipertentangkan. Ketika masyarakat mampu melihat perempuan dengan kacamata keadilan dan empati, barulah kita benar-benar mendekati nilai-nilai yang kita klaim sebagai luhur.

