METAMORFOSIS KEHIDUPAN

Di pagi yang dingin menusuk tulang dan membangunkan aku dari mimpi indah, mataku tertuju pada halaman belakang rumah yang sangat berantakan akibat dedaunan kering yang berserakan. Aku tergerak untuk bangkit dan berjalan menuju halaman untuk merapikan dedaunan tersebut. Namun, begitu aku sampai di halaman belakang, mataku tertuju pada sebuah kepompong yang menggantung pada sebatang ranting. Perlahan namun pasti, aku memperhatikannya: kantong kepompong itu mulai robek sedikit demi sedikit, hingga sayap yang cantik membebaskannya dari kantong itu dan kini kupu-kupu itu dapat memandang indahnya dunia setelah melewati proses metamorfosis yang panjang dan melelahkan. Kini, ia dapat terbang tinggi dan menunjukkan kepada dunia bawah bahwa ia bukan lagi ulat yang tak sedap dipandang.

Seketika pikiranku tertegun oleh proses alam yang Allah tunjukkan padaku. Proses metamorfosis kupu-kupu, yang dulu hanya aku bisa pelajari dari buku, kini Allah izinkan aku melihat fase terakhir dari metamorfosis tersebut. Terbesit dalam pikiranku, betapa malunya diriku yang baru diuji dengan masalah sepele, dan sudah mengeluh, kecewa, bahkan merasa ingin menyerah. Apa yang akan terjadi jika aku berada di posisi ulat? Sanggupkah aku menghadapinya atau justru aku akan kalah oleh keadaan?

Dari narasi di atas, kita diberikan pelajaran mengenai kehidupan yang tidak selalu sesuai dengan harapan yang kita inginkan. Terkadang, kita bahkan sampai mengatakan “Allah tidak adil”, tanpa menyadari bahwa hal yang kita anggap menarik, indah, bahkan membuat kita iri, memerlukan proses yang tidak semudah yang kita bayangkan. Proses tersebut kadang membuat kita lupa untuk mensyukuri apa yang telah kita miliki saat ini. Terkadang, kita terlalu sibuk mendengarkan kritik dan cacian orang lain, hingga kita lupa akan kehadiran Allah dalam kehidupan kita.

Karena sibuknya kita memikirkan kritik, cacian, bahkan hinaan dari orang lain tentang hidup kita, maka lambat laun kita akan merasa tidak berguna, selalu salah di mata orang lain, bahkan membuat kita rela mengorbankan mimpi kita hanya untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Seperti kepompong yang mati dan gagal menjadi kupu-kupu yang indah.

Bayangkan jika kita adalah seekor ulat, setiap hari kita fokus dengan tujuan hidup kita. Hinaan dan cacian bagaikan makanan yang membuat kita semakin kuat dari waktu ke waktu, hingga akhirnya kita memutuskan untuk memberikan pembuktian kepada lingkungan bahwa kita itu hebat, tidak seburuk yang mereka bayangkan. Layaknya seekor ulat yang sedang membuat kepompong dari benang sutra, kita perlahan mulai belajar memperbaiki sikap, cara bicara kita, bahkan cara kita memperlakukan orang lain

Ditulis oleh Sona Pranata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top