Integritas dan Sejatinya Kekayaan

Ditulis oleh : Lisa Kustina

Dalam dunia bisnis, setiap perusahaan, terutama Badan Usaha Milik Negara (BUMN), diharapkan dapat menjadi motor penggerak ekonomi yang berkelanjutan. PT Timah, sebagai produsen timah terkemuka di Indonesia, telah memegang peranan penting dalam industri tambang dan kontribusinya terhadap ekonomi nasional tidak bisa diabaikan. Sebagai perusahaan yang dimiliki oleh negara, diharapkan PT Timah tidak hanya mampu menghasilkan keuntungan yang signifikan, tetapi juga berperan sebagai agen pembangunan.

Namun, baru-baru ini, Masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berita kasus korupsi PT Timah ditaksir merugikan negara Rp 271,06 Triliun (tepatnya 271.069.688.018.700 terdiri dari kerugian lingkungan (ekologis) Rp 157.832.395.501.025, kerugian ekonomi lingkungan Rp 60.276.600.800.000, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 5.257.249.726.025 serta kerugian di luar kawasan hutan sekitar Rp 47.703.441.991.650).

271T merupakan sebuah angka yang fantastis, tetapi disatu sisi sangat ironis untuk PT Timah. Data dari annual report, PT Timah pada tahun 2019 membukukan rugi 611,3M, tahun 2020 rugi 340,6M, tahun  2021 membukukan laba 1,3T sedangkan tahun 2022 membukukan laba 1,041T. Tahun 2023 PT timah membukukan rugi 449,6 Milyar.

Laba tertinggi yang diperoleh PT Timah sejak tahun 2018 hanya sekitar 1 Trilyun saja, sedangkan pada tahun 2019, 2020, dan 2023 PT Timah membukukan rugi ratusan milyar. Kasus kerugian PT Timah juga memunculkan pertanyaan tentang efektivitas pengelolaan perusahaan BUMN secara keseluruhan. Apakah mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang ada sudah cukup efektif dalam mencegah terjadinya kerugian semacam ini di masa depan?

Tak ada yang salah dengan keinginan menjadi kaya. Kewajaran bahwa manusia ingin menjadi kaya. Tetapi cara mendapatkan dan untuk apa harta tersebut digunakan tentunya akan dipertanggungjawabkan. Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka tidak lagi peduli dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang halal ataukah dengan cara yang haram (HR Bukhari).

Menjadi kaya bukanlah hanya tentang akumulasi harta semata, tetapi juga mengenai moral dan spiritual yang kuat. Dalam Islam, diajarkan untuk mendapatkan kekayaan dengan cara yang halal dan berkah, serta mempergunakan harta dengan bijaksana untuk kebaikan diri sendiri dan Masyarakat. Menjadi kaya bukanlah sekadar tujuan untuk mencapai kemewahan materi, tetapi juga tentang bagaimana cara mendapatkan kekayaan tersebut dan untuk apa harta tersebut digunakan. Dengan memiliki landasan moral dan spiritual yang kokoh, seseorang dapat menggunakan kekayaannya sebagai sarana untuk mencapai keberkahan dan kesejahteraan Masyarakat serta berkontribusi pada dakwah Islam.

Teringat kisah Abu Dujanah dengan Rasulullah mengenai bagaimana perjuangan beliau memastikan keluarganya hanya memakan makanan yang halal. Abu Dujanah selalu bergegas pulang setelah salat subuh berjamaah, tanpa menunggu doa Rasulullah selesai. Alasannya adalah rumahnya berdampingan dengan rumah tetangga yang memiliki pohon kurma. Setiap angin bertiup, kurma jatuh dan anak-anaknya memakannya karena sering kelaparan. Abu Dujanah merasa tidak tega melihat anak-anaknya memakan makanan yang tidak halal, jadi mereka selalu mengembalikan kurma-kurma tersebut kepada pemiliknya. Namun, suatu hari, anaknya memakan kurma tersebut saat Abu Dujanah terlambat pulang.

Dalam keputusasaan, Abu Dujanah bersumpah untuk memastikan anaknya tidak memakan makanan haram. Beliau bahkan bersedia untuk mengeluarkan isi perut anaknya demi memastikan tidak ada makanan haram yang tersisa. Rasulullah SAW, tersentuh mendengar kisah Abu Dujanah, memutuskan untuk membeli pohon kurma milik si munafik dengan harga sepuluh kali lipat lebih mahal dari harga pasar. Namun, si munafik menolak tawaran tersebut dengan tegas, menyatakan bahwa ia hanya mau berdagang dengan uang kontan. Sayidina Abu Bakar, menerima tawaran tersebut tanpa ragu-ragu, menggembirakan si munafik.

Setelah kesepakatan tercapai, Abu Bakar memberikan pohon kurma itu kepada Abu Dujanah, sementara Rasulullah menegaskan bahwa ia yang akan menanggung pembayarannya. Si munafik pergi, merasa senang dengan untung yang didapat, tetapi pada malamnya terjadi keajaiban: pohon kurma tersebut tiba-tiba berpindah ke pekarangan Abu Dujanah. Kejadian ini menggambarkan betapa pentingnya menjaga diri dan keluarga dari makanan yang haram, bahkan dalam situasi sulit sekalipun.

Selain itu Diceritakan bahwa di antara mayat yang dihidupkan oleh Nabi Isa AS adalah seseorang yang telah meninggal selama 70 tahun. Ketika mayat tersebut bangkit kembali dan bertanya apakah kiamat telah terjadi, orang-orang yang hadir menjelaskan bahwa belum terjadi kiamat, tetapi Nabi Isa telah meminta Allah untuk menghidupkannya kembali. Mayat itu bertanya mengapa Nabi Isa meminta untuk menghidupkannya, dan Nabi Isa bertanya tentang kebaikan yang dilakukan semasa hidupnya.

Mayat itu menceritakan bahwa amalnya baik, namun ia pernah melakukan kesalahan ketika mengambil potongan kayu bakar tanpa izin pemiliknya untuk digunakan sebagai tusuk gigi. Akibatnya, ia dihukum selama 70 tahun. Ia mengaku bahwa saat ini ia menunggu pemilik kayu bakar tersebut untuk mengampuninya.

Cerita ini menjadi pengingat akan pentingnya berhati-hati dalam tindakan sehari-hari, termasuk dalam hal yang dianggap sepele seperti tusuk gigi, serta memberikan refleksi terhadap kejahatan korupsi yang melanggar hak-hak masyarakat dan dapat berdampak serius. Seandainya 1 tusuk gigi yang harganya tidak sampai Rp.21,- (harga di market place Rp.20.500 isi 1.000) dimintai pertanggung jawaban dan sudah menunggu selama 70 tahun untuk permintaan maaf, bagaimana dengan 271 Trilyun?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top