Ditulis oleh: Syamril
Setiap tahun, diperingati Hari Kebangkitan Nasional di Indonesia yang mengacu pada berdirinya Boedi Utomo 20 Mei 1908. Pada era sekarang ini, kebangkitan dibutuhkan untuk mewujudkan Indonesia Emas sebagaimana tema Harkitnas 2024. Indonesia Emas diharapkan tercapai pada tahun 2045 mendatang. Pada tahun tersebut, ditargetkan Indonesia sudah menjadi negara maju, modern, dan sejajar dengan negara-negara adidaya di dunia.
Menurut Sri Mulyani, ada 4 strategi untuk mencapainya yaitu SDM Sumber Daya Manusia) yang unggul, pembangunan infrastruktur yang tepat dan berkualitas, birokrasi yang mudah dan sederhana, dan membangun ekonomi berbasis digital. Tulisan ini fokus pada SDM unggul. Apakah pendidikan kita telah menyiapkan SDM unggul menyambut Indonesia Emas 2045?
Indikator pendidikan Indonesia dibandingkan negara lain di dunia masih dalam kategori rendah. Rerata lama sekolah (RLS) Indonesia baru di angka 8 tahun. Bandingkan dengan Singapura memiliki RLS 11,5 tahun. Malaysia sebesar 10,2 tahun. Filipina 9,3 tahun. Di bawah Indonesia adalah Thailand (7,6 tahun), Laos (5,2 tahun), Myanmar (4,9 tahun), dan Kamboja (4,8 tahun).
OECD merilis daftar negara dengan persentase lulusan pendidikan tinggi (sarjana, magister, dan doktor) terbanyak tahun 2023. Kanada menjadi juara dengan angka 60%. Rusia berada di peringkat kedua dengan 56,67%. Bertengger di posisi ketiga adalah Jepang di 52,7%. Luxembourg berada di posisi keempat dengan 51,3%. Posisi kelima diduduki oleh Korea Selatan dengan 50,7%. Indonesia masuk ke dalam peringkat ke-44 dengan 11,9%.
Rendahnya angka tersebut disebabkan angka partisipasi kasar (APK) lulusan SMA yang lanjut ke Perguruan Tinggi baru di kisaran 31%. Bandingkan dengan Singapura 91%, Thailand sekitar 50%, Malaysia mendekati 45%. Jika Indonesia Emas ingin diraih pada tahun 2045 maka Indonesia harus menaikkan rerata lama sekolah (RLS), angka partisipasi kasar (APK) ke Perguruan Tinggi, dan persentase jumlah penduduk yang lulus pendidikan tinggi mendekati negara maju lainnya.
Salah satu isu yang ramai dibahas pada beberapa pekan ini yaitu Uang Kuliah Tunggal (UKT) di beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang naik fantastis. UKT pun diplesetkan menjadi Uang Kuliah Tinggi. Demo mahasiswa marak menolak kenaikan UKT. Wakil Rakyat di DPR juga bersuara dan akan membahasnya secara khusus dengan Kemendikbudristek.
Kebijakan menaikkan UKT dapat dipastikan akan berdampak pada turunnya APK ke Perguruan Tinggi. RLS pun juga turun. Lebih jauh lagi secara jangka panjang daya saing dan kualitas SDM Indonesia akan rendah. Padahal kita akan menghadapi era bonus demografi sampai tahun 2038. Jika usia produktif sampai 70% jumlah penduduk namun kualitasnya rendah, itu akan menjadi beban sosial yang mencemaskan bahkan membahayakan. Akan menyebabkan Indonesia Cemas, bukan Indonesia Emas.
Oleh karena itu sebelum terlambat, mohon Pemerintah segera turun tangan. Jangan berlindung di balik otonomi kampus. PTN menaikkan UKT salah satu sebabnya karena subsidi dari APBN yang rendah. Tingkatkan porsi dana pendidikan dari APBN. Lihat kembali postur APBN secara keseluruhan. Prioritaskan pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Hentikan pembiayaan pada hal yang tidak perlu, hanya untuk kebanggaan. Hentikan korupsi di seluruh kalangan khususnya penyelenggara negara. Dana negara untuk kesejahteraan rakyat bukan kesejahteraan pejabat. Kasus di salah satu kementerian yang sedang ramai sungguh sangat melukai hati rakyat.
Sudah saatnya Pemerintah meningkatkan Wajib Belajar 12 tahun menjadi 16 tahun atau hingga perguruan tinggi. Untuk itu alokasi beasiswa bagi masyarakat kurang mampu perlu ditingkatkan di seluruh tingkatan pendidikan. Agar Wajib Belajar 16 Tahun bisa menarik maka perlu dibuat Gerakan “Ayo Kuliah” oleh pemerintah bersama seluruh penggiat pendidikan tinggi. Jika minat meningkat disertai skema beasiswa dan UKT yang terjangkau pasti banyak yang lanjut kuliah.
Pengelola Perguruan Tinggi jangan hanya mengandalkan pemasukan keuangan dengan menambah jumlah mahasiswa baru dan menaikkan UKT. Gali sumber dana dari dunia usaha dan dunia industri serta masyarakat melalui hilirisasi kepakaran, kemitraan dan beasiswa. Sudah saatnya perguruan tinggi menggali dana abadi yang besar dari donasi alumni, perusahaan dan masyarakat.
Dana keagamaan seperti zakat, infak dan sedekah juga perlu digali di kalangan Perguruan Tinggi. Beberapa masjid kampus yang tergabung dalam Asosiasi Masjid Kampus Indonesia (AMKI) bisa menjadi contoh. Mereka mendirikan Rumah Amal di masjid kampus. Salah satu programnya membantu mahasiswa tidak mampu.
Semoga UKT yang terjangkau membuka akses yang luas kepada seluruh rakyat khususnya kalangan miskin untuk menikmati pendidikan tinggi. Jalur inilah yang bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat di masa depan menuju Indonesia Emas 2045.
Makassar, 20 Mei 2024